Selasa, 12 Februari 2019

[CERNAK] Temanku, Tina

Oleh: Lily Rosella

Pixabay/KokomoCole

Dia Tina, seorang gadis yang duduk di bangku ke empat, baris ke satu dari pintu. Dia sangat suka menyendiri dan jarang bermain dengan teman-teman lainnya, tidak sepertiku. Aku tidak tahu apakah Tina tidak menyukai keramaian atau mungkin ia merasa tidak nyaman bermain dengan teman-teman, tapi aku rasa teman-temanlah yang tidak ingin bermain dengannya. Semua terjadi begitu saja setelah teman-teman tahu siapa atau seperti apa ayah Tina.


Saat istirahat dapat kulihat Tina duduk di bangkunya, menghabiskan sepotong roti bungkus yang mungkin dibawanya dari rumah. Tak lama beberapa teman berjalan melintasi mejanya. Meski tak bisa kukatakan apa mereka membenci Tina, tapi aku melihat sendiri Beni dengan sengaja menyenggol botol minum milik Tina, membuat seluruh airnya tumpah ke lantai.

Tina diam saja, ia mengambil botol minumnya di lantai kemudian menaruh kembali ke meja. Ia tidak mengatakan apa pun pada Beni yang berjalan dengan santai bersama Amir dan Rusdi ke luar kelas. Tina malah meneruskan memakan roti bungkusnya, dan satu-dua kali ia batuk karena tersedak. Matanya basah oleh air mata yang sedang ditahannya agar tidak mengalir. Aku hanya duduk di bangkuku sambil sesekali meliriknya, Joni menahanku agar tidak menghampiri Tina, gadis yang rambutnya sering dikepang itu.

Kata ayahnya Joni, Joni dilarang bermain dengan Tina karena Tina bukan berasal dari keluarga baik-baik. Ayahnya Tina pernah dipenjara karena menabrak seseorang sampai meninggal, ibunya menikah lagi tanpa sempat diceraikan, sedangkan Tina tinggal bersama neneknya. Ayahnya juga telah dibebaskan sebulan lalu sehingga dia tinggal bertiga sekarang.

Aku masih terus memperhatikan Tina selama seminggu ini. Dibanding bermain dengan teman-teman lainnya, aku lebih suka melihat sekilas pada Tina. Pernah suatu waktu saat pulang sekolah, Tina dijahili oleh Mayang, tubuhnya didorong sampai ia terjatuh dan lututnya berdarah. Aku segera melapor pada Bu Guru. Membuat Bu Guru langsung ke halaman sekolah dan melihat Tina yang duduk sambil menepuk-nepuk rok merahnya yang kotor.

Bu Guru mengajak Tina untuk ke kelas, memintanya duduk dan menunggu sampai ayahnya datang dan menjemputnya pulang. Beberapa menit, aku yang berdiri di luar kelas sambil mengintip Tina dari balik jendela melihat seorang pria bertubuh besar datang. Dia mengenakan baju tanpa lengan, dan di tangan kirinya ada tato bergambar kepala harimau.

Pria itu menghampiri Tina. Dia adalah ayahnya Tina, dan dia adalah orang baik. Dia berjongkok sambil memegang pundak Tina, bertanya dengan suara lembut apa Tina baik-baik saja. Tapi ... sayangnya Tina malah menepik tangan ayahnya, segera memakai tas merah jambunya dan berjalan pincang keluar kelas. Padahal sebelumnya ia tak pernah begitu. Dia selalu berjalan sambil menggandeng tangan ayahnya setiap kali dijemput pulang, pun tersenyum.

***

Hari ini aku kembali memperhatikan Tina. Dia masih murung seperti hari-hari sebelumnya. Pada saat pelajaran menggambar, dia akan memakai pensil warnanya yang hanya ada warna merah, hitam, dan hijau saja. Dia tidak pernah meminjam barang apa pun pada teman-teman di kelas. Bahkan pensilnya yang hanya sepanjang jari kelingking masih dipakainya untuk menulis tugas yang diberikan oleh Bu Guru.

Dan kini, saat pelajaran olahraga, tidak ada satu pun teman yang bersedia menjadi pasangan Tina untuk bermain bulu tangkis. Dia juga tidak membawa raket seperti jadwal pelajaran olahraga minggu lalu, mungkin itu karena dia sudah tahu kalau tidak ada yang bersedia bermain dengannya.
Aku berdiri, menghampiri Tina yang duduk di bangku lapangan, memberikan salah satu raketku.

“Kamu mau main sama aku?” tanyaku.

Seketika Tina mengangkat kepalanya yang tertunduk, tersenyum padaku. “Mau,” jawabnya senang.

Hari ini, untuk pertama kalinya aku melihat Tina tersenyum. Tina, temanku ini murung bukan karena tidak suka pada keluarganya, bukan pula tidak suka pada ayahnya. Aku tahu dia murung karena sedih, sebab tidak ada teman yang ingin bermain bersamanya. Aku bisa melihat sendiri bahwa Tina sering kali melirik teman-teman yang asyik bermain. Dia tersenyum sedikit, namun kembali menunduk. Mungkin dia sedang membayangkan betapa serunya jika dia juga berada di antara teman-teman yang sedang bermain.

Dan saat ini, Tina tersenyum padaku. Tersenyum karena sekarang dia tahu, bahwa dia memiliki seorang teman. (*)

Jakarta, 03 Agustus 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar