Oleh: Lily Rosella
Deviantart/Key247
Aku menatap langit biru yang di tertutup beberapa
gumpalan awan. Salah satu dari awan-awan itu ada yang berbentuk bulan sabit, ada
yang berbentuk layang-layang, ada yang berbentuk seperti wajah orang, dan ada
juga yang tak aku tahu bentuknya. Namun, berkisah tentang awan terkadang
membuatku teringat tentang masa anak-anak dulu.
“Hei! Kenapa duduk di situ terus?” suara itu mulai
terdengar di telingaku, bersamanya kenangan saat usiaku tujuh tahun seakan
kembali terputar.
”Ke sini, Nu! Main bola sama kita!” teriak Anwar.
Aku mengangguk, berlari menghampiri anak laki-laki
berambut keriting dan berbadan kurus itu.
“Kau jadi penjaga gawang, ya?” tanyanya.
Aku membelalakan mata. “Mana bisa aku jadi penjaga
gawang?” protesku.
“Ah … payah sekali. Katanya mau main?”
“Kapan aku bilang mau main? Kan, kau yang ajak aku
main?”
“Sudah-sudah, tak usah kita orang main bola kalau
masalah penjaga gawang saja sudah rebut-ribut, lebih baik main masak-masakan
saja sama si Sinta dan Yelsi sana!” timpal Rudi yang kemudian memungut bola.
Tanpa aba-aba dia sudah berlari menghampiri Sinta dan
Yelsi yang sedang asyik mengayun-ayunkan kaki sambil membaca buku Bahasa
Indonesia di dekat pohon mangga. Entah apa yang dibicarakannya dengan kedua
gadis kota itu, tetapi tak lama kemudian Rudi menunjuk ke arah kami. Sontak
saja itu membuat kami yang tengah berkumpul hanya bisa saling pandang satu sama
lain. Bingung.
“Hei, jadi tidak?” teriaknya.
Aku yang mengira Rudi mengajak kami untuk bermain
masak-masakan langsung menggeleng. “Tidak mau!”
“Gila apa si Rudi? Masa kita anak laki-laki disuruh main
masak-masakan?” keluh Anwar sambil mengacak-acak rambutnya yang keriting.
Belum juga ia balik kanan, Rudi sudah berlari
menghampiri kami, lantas melempar bola yang sejak tadi dipegangnya tepat
mengenai kepala Anwar.
“Au! Kamu orang sudah gila apa?”
“Katanya kalian mau belajar Bahasa Indonesia, kenapa
malah mau pulang? Susah payah aku tanya sama dua gadis kota itu, tapi kalian
malah jawab tidak? Padahal nilai kalian berdua yang paling anjlok, tapi susah
sekali setiap disuruh belajar.” gerutunya panjang lebar.
Aku dan Anwar hanya bisa saling tatap, lantas tertawa
pelan karena mendengar ocehan Rudi yang mana kami sama-sama salah paham.
Aku menengadahkan wajah ke langit, menatap gumpalan
awan mendung yang menyelimuti desa. “Sepertinya sebentar lagi akan turun
hujan.”
“Dari mana kau tahu kalau akan turun hujan?” tanya
Anwar.
Aku menunjuk ke arah gumpalan awan mendung.
“Apa jika ada awan berbentuk bulan sabit itu artinya
akan turun hujan?” tanyanya dengan wajah polos.
Aku menghela napas, menepuk jidatku. “Sudahlah, aku
ingin pulang sekarang. Kalau kalian mau tetap di sini dan kehujanan, itu
terserah kalian. Paling-paling juga mamak kalian marah-marah.”
Aku langsung berlari menghampiri sepedaku, mengayuhnya
sambil melambaikan tangan dan tertawa kecil.
Dan kini, aku masih menatap gumpalan awan yang
perlahan bergerak saat tertiup angin. Tertawa kecil setiap kali mengingat
pertanyaan Anwar, awan dan hujan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar