Senin, 29 Januari 2018

[CERPEN] Tentang Awan dan Hujan

Oleh: Lily Rosella


Deviantart/Key247


Aku menatap langit biru yang di tertutup beberapa gumpalan awan. Salah satu dari awan-awan itu ada yang berbentuk bulan sabit, ada yang berbentuk layang-layang, ada yang berbentuk seperti wajah orang, dan ada juga yang tak aku tahu bentuknya. Namun, berkisah tentang awan terkadang membuatku teringat tentang masa anak-anak dulu.

“Hei! Kenapa duduk di situ terus?” suara itu mulai terdengar di telingaku, bersamanya kenangan saat usiaku tujuh tahun seakan kembali terputar.


”Ke sini, Nu! Main bola sama kita!” teriak Anwar.

Aku mengangguk, berlari menghampiri anak laki-laki berambut keriting dan berbadan kurus itu.

“Kau jadi penjaga gawang, ya?” tanyanya.

Aku membelalakan mata. “Mana bisa aku jadi penjaga gawang?” protesku.

“Ah … payah sekali. Katanya mau main?”

“Kapan aku bilang mau main? Kan, kau yang ajak aku main?”

“Sudah-sudah, tak usah kita orang main bola kalau masalah penjaga gawang saja sudah rebut-ribut, lebih baik main masak-masakan saja sama si Sinta dan Yelsi sana!” timpal Rudi yang kemudian memungut bola.

Tanpa aba-aba dia sudah berlari menghampiri Sinta dan Yelsi yang sedang asyik mengayun-ayunkan kaki sambil membaca buku Bahasa Indonesia di dekat pohon mangga. Entah apa yang dibicarakannya dengan kedua gadis kota itu, tetapi tak lama kemudian Rudi menunjuk ke arah kami. Sontak saja itu membuat kami yang tengah berkumpul hanya bisa saling pandang satu sama lain. Bingung.

“Hei, jadi tidak?” teriaknya.

Aku yang mengira Rudi mengajak kami untuk bermain masak-masakan langsung menggeleng. “Tidak mau!”

“Gila apa si Rudi? Masa kita anak laki-laki disuruh main masak-masakan?” keluh Anwar sambil mengacak-acak rambutnya yang keriting.

Belum juga ia balik kanan, Rudi sudah berlari menghampiri kami, lantas melempar bola yang sejak tadi dipegangnya tepat mengenai kepala Anwar.

“Au! Kamu orang sudah gila apa?”

“Katanya kalian mau belajar Bahasa Indonesia, kenapa malah mau pulang? Susah payah aku tanya sama dua gadis kota itu, tapi kalian malah jawab tidak? Padahal nilai kalian berdua yang paling anjlok, tapi susah sekali setiap disuruh belajar.” gerutunya panjang lebar.

Aku dan Anwar hanya bisa saling tatap, lantas tertawa pelan karena mendengar ocehan Rudi yang mana kami sama-sama salah paham.

Aku menengadahkan wajah ke langit, menatap gumpalan awan mendung yang menyelimuti desa. “Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.”

“Dari mana kau tahu kalau akan turun hujan?” tanya Anwar.

Aku menunjuk ke arah gumpalan awan mendung.

“Apa jika ada awan berbentuk bulan sabit itu artinya akan turun hujan?” tanyanya dengan wajah polos.

Aku menghela napas, menepuk jidatku. “Sudahlah, aku ingin pulang sekarang. Kalau kalian mau tetap di sini dan kehujanan, itu terserah kalian. Paling-paling juga mamak kalian marah-marah.”

Aku langsung berlari menghampiri sepedaku, mengayuhnya sambil melambaikan tangan dan tertawa kecil.

Dan kini, aku masih menatap gumpalan awan yang perlahan bergerak saat tertiup angin. Tertawa kecil setiap kali mengingat pertanyaan Anwar, awan dan hujan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar