Oleh:
Lily Rosella
Aku masih diam terpaku menatap
langit-langit. Kamar ini memang cukup luas, tapi apalah artinya jika dengan
berada di dalamnya hanya membuatmu sesak. Setidaknya begitulah yang kurasakan
sekarang.
Suara tangisan Mama pecah beberapa jam
yang lalu. Tentu ini bukan kabar baik untuknya, untuk Papa, untuk semua,
terlebih untukku.
“Kamu sudah sadar, Ra?” tanya Mama.
Mama menatapku dan Papa secara
bergantian, seperti ada yang hendak disampaikannyan. Aku sudah tahu apa yang akan ia katakan, kalimat apa yang akan terucap dari bibir tipisnya. Aku sudah
mendengarnya.
“Tak apa, Ma… Ara baik-baik saja,”
seruku mendahului Mama yang hendak membuka mulutnya.
Aku tahu pasti terasa berat untuk
menyampaikan kalimat itu. Mama tentu khawatir denganku, apakah aku sedih atau
tertekan, tapi kupikir aku sudah cukup dewasa untuk mengerti keadaan yang berat
ini. Menjerit dan menangis sekencang-kencangnya takkan mengubah apa pun, semua
akan tetap sama. Waktu tak pernah berjalan mundur betapa pun kita
menginginkannya.
Mama mulai terisak, menangis lagi
seperti setengah jam yang lalu. Papa yang berdiri di samping Mama hanya
mengusap lembut rambut panjang Mama yang terurai, mengatakan berulang kali
bahwa aku baik-baik saja, aku sudah cukup kuat untuk menghadapi semua ini.
“Sudahlah, kenapa kamu terus menangis?
Bukankah Ara sendiri mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Jika Ara saja bisa
menerimanya, lalu kenapa kamu terus menangis seperti ini? Ara bisa ikut
bersedih nanti,” kata Papa lembut sambil terus berusaha menenangkan Mama.
Aku menghela napas, hatiku sesak saat
menatap butir air mata yang jatuh membasahi pipi malaikat tak bersayapku itu.
Aku ingin sekali bisa memeluknya dan mengusap air matanya seperti hari yang
sudah-sudah. Aku ingin mengatakan bahwa semua ini bukanlah masalah besar. Tapi
suaraku tercekat, terhenti, tercekik oleh kenyataan.
Mama terus menatapku dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki, kemudian ia berhenti saat melihat selimut yang menutupi
tubuhku—menyadari sesuatu yang tidak lagi seperti dulu. Matanya kembali
berkaca-kaca. Begitulah Mama, ia sangat mudah terbawa perasaan, berbeda dengan
Papa yang tegar. Meskipun begitu, aku tahu pasti Papa juga merasakan hal yang
sama—terpukul dengan semua ini.
***
Setengah jam lalu aku agak kesulitan
membuka mata. Aku tidak mengingat apa pun selain tubuhku yang melayang,
terpental jauh setelah sebuah mobil sedan menghantamku. Ketika itu aku hendak
menyeberang jalan.
Pagi itu jalanan lengang, dingin masih
terasa menusuk tulang, langit juga belum terang. Masih tersisa berkas cahaya
bulan semalam yang seperti mengiringi langkahku. Aku hendak ke rumah nenek yang
terletak berlainan arah dengan sekolah. Saat itu Mama menyuruhku untuk
berkunjung sebentar untuk mengantarkan sup tulang iga.
Hanya
ada satu-dua mobil yang tengah melaju pagi itu, karena itu aku merasa lebih
leluasa saat akan menyeberangi zebra cross. Baru saja
kulangkahkan kakiku menapaki aspal ketika tiba-tiba…
Braaak!!!
Sebuah sedan melesat cepat dari arah
barat dan menghantam keras tubuhku hingga terpental jauh. Karenanya aku
terkapar lemah di tengah jalan yang dingin. Nahasnya, dari arah lain, sebuah
truk besar sedang melaju dan tak sempat berhenti hingga melindas tanganku. Aku
tak ingat apa pun setelah itu.
Aku menatap sekitarku dengan heran.
Apakah aku berada di rumah sakit? Apa separah itukah lukaku hingga perlu
dirawat seperti ini? Aku benar-benar tak mengingat apa pun. Yang pasti aku
merasakan sakit di kepalaku dan … seperti ada bagian dari diriku yang hilang.
“Bagaimana dengan Ara? Bagaimana
perasaannya saat bangun nanti?” bisik Mama sembari melirik sekilas ke arahku.
Sepertinya Mama tak tahu kalau aku sudah sadar. Papa menghela napas, sepertinya
ia enggan menjawab pertanyaan yang diajukkan Mama.
“Bagaimana jika dia putus asa karena
kehilangan tangannya? Tak bisa menjadi penulis lagi, seperti yang selama ini
diimpikannya. Bagaimana kalau Ara benar-benar terpukul, bagaimana kalau ia
depresi?”
Tangis Mama kembali pecah saat
mengatakan semua itu. Papa tetap tak menjawab sepatah kata pun. Ia membiarkan
Mama meluapkan segala perasaannya dan memeluknya erat-erat.
Aku yang sejak tadi sudah tersadar
memilih untuk tetap memejamkan mata, mendengarkan semua yang terucap, semua
yang terlanjur kudengar.
Setelah mereka pergi, barulah kubuka
mataku. Aku menatap nanar pada sekitar sembari menahan sesak yang sejak tadi
mengendap di hati. Seolah-olah ada puluhan pisau yang ditusukkan bertubi-tubi
ke jantungku. Perih sekali.
***
Aku menatap ngeri ke kedua tanganku
yang telah diamputasi.
“Sudah berakhirkah? Apa memang sudah
berakhir? Apa mimpiku hanya sampai di sini saja?”
Aku terus bertanya dalam genang air
mata yang tertahan di kelopak mata. Setegah jam aku hanya merenung menatap ke
langit-langit ruang rawatku. Sungguh aku butuh waktu untuk mengerti semua
ini. Waktu yang akan menyadarkanku bahwa ia takkan berhenti hanya karena
aku terluka, waktu yang akan terus berjalan meski aku tetap berhenti di satu
titik.
Pertanyaan itu terhenti saat Mama dan
Papa kembali. Mereka tampak berusaha tersenyum padaku setelah setengah jam lalu
menangis tanpa henti. Menatap wajah mereka membuatku tahu jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang tadi sempat menggelayut dalam pikiranku.
Mungkin semua ini menyakitkan, tapi
itulah kenyataannya. Bukankah hidup terus bergerak maju? Lantas aku harus terus
berjalan, menatap ke depan, menatap segala yang terus setia, menatap mereka
yang terus menjaga penuh cinta.
Aku menatap Mama dan tersenyum.
Meskipun berat aku akan memastikan bahwa aku baik-baik saja, aku masih bisa
melakukannya, dengan tangan ataupun tidak.
“Tak apa, Ma. Ara baik-baik saja,”
seruku mendahului Mama yang hendak membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu.
Kalimat itu, meski terasa berat, meski
terasa begitu perih, tapi aku telah berhasil mengucapkannya. Kalimat itu, tak
hanya untuk membuat Mama merasa lebih baik, juga bukan hanya untuk Papa.
Sejatinya kalimat itu untukku sendiri, hanya untuk membuatku percaya bahwa aku
memang baik-baik saja.
Bukankah aku seorang penulis? Apa hanya
orang-orang yang punya tangan saja yang bisa menulis? Apa hanya orang jenius
yang dapat menciptakan alat canggih? Apa hanya orang yang matanya berfungsi
saja yang bisa membaca?
Mungkin benar seperti itu, secara garis
besarnya, namun tak selamanya berlaku demikian. Banyak di antara orang-orang
yang memiliki keterbatasan yang dapat berkarya, menciptakan sesuatu yang begitu
hebat. Mereka tidak merasa bahwa keterbatasan itu menghambat mereka untuk
mencoba. Mereka memilih untuk bangkit, terus berjuang, dan mereka tak
merendahkan diri sendiri dengan bermanja-manja pada keterbatasan itu. Mereka
selalu menjadi orang-orang yang kuat, orang-orang yang yakin dengan
kemampuannya, dengan cita-citanya.
“Benarkah?” Mama bertanya ragu, memastikan
bahwa aku tidak sedang berpura-pura.
Aku mengangguk pelan. Lantas menatap ke arah jendela seraya berpikir tentang sesuatu.
Bagaimana mungkin merpati dapat terbang
tanpa sepasang sayap? Bisakah? Aku tidak tahu dan takkan pernah tahu sebelum
mencobanya. Mungkin akan sangat sulit menggapai mimpi-mimpiku yang tinggi di
angkasa. Mimpi-mimpi yang menggantung di antara bintang-bintang.
Tapi aku yakin, tak ada yang tidak
mungkin.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar